AKHLAK TASAWUF
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ .... 1
BAB II PEMBAHASAN
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN
ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF.............. 6
SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA.................................................................. 9
PEMBAGIAN TASAWUF DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... 11
MAQAMAT dan AHWAL.......................................................................................... 16
AJARAN TASAWUF PADA MASA AWAL, TOKOH,
DAN FAKTOR YANG
MELATARBELAKANGINYA..................................................................................... 21
AJARAN TASAWUF PADA MASA BERIKUT,
TOKOH, DAN FAKTOR
YANG MELATARBELAKANGINYA........................................................................... 25
ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT........................................................................ 27
KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM................................................................. 31
TASAWUF DI INDONESIA....................................................................................... 36
TASAWUF DALAM PERKEMBANGAN MODERN..................................................... 40
TASAWUF DAN ETOS KERJA................................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak
Tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim yang
kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara historis dengan teologis
akhlak tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umar agar selamat
dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW.
Adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa
faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan
akhlaknya yang prima.
Khazanah
pemikiran dan pandangan di bidang akhlak da tasawwuf itu kemudian menemukan
momentum pengembangan dalam sejarah, antara lain ditandai oleh munculnya
sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang akhlak.
Bersamaan
dengan itu perkembangan teknologi di bidang alat-alat anti hamil, makanan
minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang terciptanya kesempatan untuk
membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan obat-obatan terlarang yang
menghancurkan masa depan generasi muda. Tempat-tempat beredarnya obat terlarang
semakin canggih. Demikian juga sarana yang membawa orang lupa pada tuhan, dan
cenderung maksiat terbuka lebar di mana-mana. Semua in semakin enambah beban
tugas akhlak tasawuf.
Melihat
demikian pentingnya akhlak tasawwuf dalam kehidupan ini tidaklah mengherankan
jika akhlak tasawwuf ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh
kita semua dikarenakan pentingnya tersebut.
Disadari
bahwa masih banyak bidang akhlak tasawwuf yang dapat dikemukakan, namun
keterbatasan ilmu yang kami miliki kami mohon maaf jika mempunyai kesalahan
dalam pengumpulan data yang kami kumpulkan ini.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana untuk
memahami tujuan dari akhlak dan tasawwuf?
- Apa saja faidah
dari mempelajari akhlak tasawwuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu
Akhlak
Ada
dua pendekatan yang dapat di gunakan untuk mendefinisikan akhlak yaitu
pendekatan linguistic (kebahasan), dan pendekatan terminologik
(peristilahan). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana
tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim mashdar dari kata akhlaqa
bukan dari kata akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini
maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara Lingustik kata akhlak
merupakan isim jaded atau isim mustaq, yaitu isim yang tidak
memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Secara
bahasa akhlak berasal dari kata اخلق – يخلق – اخلاقا
artinya perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak
sama dengan kata khuluq.
انما
بعثت لا تمم مكارم الاخلاق
Artinya :
bahwasanya aku di utus (allah) untuk menyempurkan keluhuran budi pekerti. (HR.
AHMAD)
Secara istilah
akhlak berasal dari :
a) Ibnu Miskawaih:
sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b) Imam Ghazali: sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan yang mudah,
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c) Ibrahim Anis dalam
Mu`jam al-Wasith : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya
lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran
dan pertimbangan.
d) Dalam kitab Dairatul
Ma`arif : sifat-sifat yang terdidik.
Dari
atas tak ada perbedaan akan tetapi memilki kemiripan antara satu dengan yang
lain. Definisi – definisi akhlak tersebut adalah subtansial tampak saling
melengkapi,
B. Ruang Lingkup
Akhlak
Jika
definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan
tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang
perbuatan – perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut
tergolong perbuatab yang baik atau perbuatan yang buruk.
Dengan
mengemukakan beberapa literaratur tentang akhlak tersebut menunjukan bahwa
keberadaan ilmu akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan
ilmu-ilmu keIslaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh, sejarah Islam, dan
lai-lain.
Pokok-pokok
masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia.
Dan selanjutnya di tentukan kriterianya apakah itu baik atau buruk.
Definisi dari
ruang lingkup akhlak:
- Perbuatan-perbuatan manusia menurut ukuran baik dan buruk.
- Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut.
- Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif.
C. Tujuan Akhlak
Tujuan
akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik di dunia dan
di akhirat. Dikarekan itulah kita sebagai manusia untuk hidup saling membantu
baik dari pekerjaan, kebutuhan atau lainnya.
Tujuan
mempelajari akhlak diantaranya adalah menghindari pemisahan antara akhlak dan
ibadah. Atau bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama dengan
dunia (sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, “Agama adalah urusan
akhirat sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing.” Atau ungkapan, ”Agama
adalah urusan masjid, di luar itu terserah semau gue.” Maka jangan heran
terhadap seseorang yang beribadah, kemudian di lain waktu akhlaknya tidak
benar. Ini merupakan kesalahan fatal. Kita pun sering menjumpai orang-orang
yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak shalat. Ini juga keliru.[1]
D. Manfaat
Mempelajari Ilmu Akhlak
Berkenaan
dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebgaai
berikut :
Tujuan
mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat
menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian
perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan
berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya
termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.
Selanjutnya
Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk
membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati
menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.[2]
Seseorang
yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan
baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik
dan perbuatan yang buruk.
Ilmua
akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai
berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki
IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan yang Ia
miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia.
Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki
pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka
semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka
bumi.
Demikian
juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan
ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha
menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai
perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.
Dengan
demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk
memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang
baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya,
dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.
E. Pengertian
Tasawwuf
Tasawwuf
adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan meninggalkan sifat-sifat
tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7).
Aslinya
Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan langsung
kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud (tidak
suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan
menyendiri dari makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab Zhuhrul Islam
IV-Halaman 151).
Adapun
batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran
mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran
tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan.
Dan dikatakan : Masuk pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala
ciptaan yang hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman
yang mulia beserta kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki
sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu
dibangun atas 3 macam :
a. Berpegang dengan
kefakiran dan menjadi fakir
b. kenyataan
berkorban dan mementingkan orang lain
c. Meninggalkan
mengatur dan memilih
Menurut
Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi
sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Peranan
sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya
akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Ajaran
tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur
al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia
mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari
ucapannya: ana Allah…ana al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha benar).
Berdasarkan
seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya
menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
sedekat-dekatnya.
F. Hubungan Akhlak
dengan Tasawuf
Akhlak
dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan
horizontal antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi
vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan
tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.
Para
ahli ilmu tasawwuf pada umumnya membagi tasawwuf kepada tiga bagian:
1) Tasawwuf falsafi
2) Tasawwuf akhlaki
3) Tasawwuf amali
Yang
memiliki tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan yang terceladan menghias diri dengan perbatab
yang terpuji.
G. Tujuan Mempelajari
Tasawwuf
Tujuannya
adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih jelas). Tasawwuf memiliki
tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun
tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh
Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang
dilakukan.
Melihat
dari situ kita dapat untuk bisa memahami betapa pentingnya mengenal Allah
secara lebih dalam dan memahaminya dengan benar. Sama juga dengan kebersihan
diri dan taqarrub, tapi kita tak boleh melanggar apapun yang telah al-qur`an
berikan.
H. Faedah Dari
Mempelajari Tasawwuf
Saat
kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai dapat membedakan mana yang baik
dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati dan ma’rifah Allah Yang Maha Mengetahui,
sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah hasilnya ialah kelapangan (mulia) nafsu,
selamat dada dan akhlak yang mulia bersama setiap makhluk.
Faedah
tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan terhadap
Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan
mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi.
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN
ANTARA AKHLAK DAN ILMU TASAWUF
A.
Persamaan Etika, Moral, dan
Akhlak
1. Persamaan
- Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
- Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
1. Objek: yaitu perbuatan manusia
2.
Ukuran: yaitu baik dan buruk
3.
Tujuan: membentuk kepribadian
manusia[3]
2.
Perbedaan
1. Sumber atau acuan:
o
Etika sumber acuannya adalah akal
o
Moral sumbernya norma atau adapt
istiadat
o
Akhlak bersumber dari wahyu
2. Sifat Pemikiran:
o
Etika bersifat filososfis
o
Moral bersifat empiris
o
Akhlak merupakan perpaduan antara
wahyu dan akal
3. Proses munculnya perbuatan:
- Etika muncul ketika ad aide
- Moral muncul karena pertimbangan suasana
- Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.[4]
B. Hubungan
Manusia dengan Etika, Moral dan Akhlak
§ Beberapa hari terakhir ini kita
mendapat sajian fakta hukum yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini.
Mafia hukum bertebaran dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum
yang telah dijalankan pemerintah. Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga
begityu perkasa merekayasa berbagai status hukum yang tak jelas duduk
perkaranya.
§ Akhirnya, aparat penegak hukum menjadi
aktor yang merusak tatanan sistem hukum itu sendiri. Fakta hukum di Indonesia
inilah yang sekarang menjadi keluh-kesah masyarakat. Bahkan masyarakat sekarang
tidak sedikit yang apriori, bahkan tidak lagi percaya atas kasus perkara yang
diajukan ke meja hijau. Karena hukum sudah dibeli oleh oknum tak
bertanggungjawab. Kasus “cicak” versus “buaya” yang sampai sekarang belum usai
adalah fakta empiric bobroknya penegakan hukum di Indonesia.
§ Berangkat dari fakta inilah, menarik
kalau kita menjelajah buku bertajuk “Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum
Kodrat Thomas Aquinas”. Bertolak dari pemikirannya Thomas Aquinas, penulis
melihat bahwa hukum pada dasarnya merupakan “peta jalan” menuju kebahagiaan.
Hukum merancang atau memetakan arah yang harus diambil manusia dalam perbuatan,
jika manusia ingin mencapai tujuan akhir yang dicarinya.
§ Peta tersebut adalah hasil karya budi
manusia, sebab sebelum peta itu dibuat terlebih dahulu orang harus memikirkan
tujuannya dan jalan yang dapat menuntunnya kea rah tujuan tersebut. Demikian
juga arah dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini, hukum selalu merupakan
perintah atau petunjuk akal budi yang mengatur perbuatan manusia menuju
sasarannya, yakni kebahagiaan an kebaikan umum (hlm. 243).
§ Alam pandangan hukum kodrat, manusia
akan secara alamiah membentuk dan mengoraganisir diri dalam membentuk tatanan
sosial dan politik. Semua itu dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidup
bersama berdasarkan kebaikan dan kesejahteraan umum. Sebenarnya, bagi Aquinas,
dalam diri manusia sudah ada tiga aspek pengaturan yang ditetapkan. Yang
pertama, berhubungan dengan aturan akal budi, karena semua perilaku dan
perasaan kita harus diatur berdasarkan aturan akal budi. Kedua, berhubungan
dengan aturan yang berasal dari hukum ilahi, yang dipergunakan untuk mengatur
manusia dalam segala kehidupannya.
§ Seandainya manusia menurut kodratnya
harus hidup sendirian, dua aspek pengaturan ini sudah memadai, namun karena
manusia menurut hukum kodratnya adalah makhluq politik dan makhluq sosial, maka
diperlukan aturan ketiga, yakni manusia harus diarahkan untuk hidup (selalu)
dalam hubungan dengan sesamanya.
§ Independensi manusia dalam menegakkan
hukum ini mendapat perhatian serius dari Aquinas. Karena setiap persona
mempunyai substansi kehidupannya sendiri yang berperan sangat penting dalam
penegakan sebuah hukum. Nilai-nilai dasar kemanusiaan sebenarnya sudah melekat
dalam diri persona manusia. Kedudukan yang substansial ini dikarenakan,
pertama, manusia adalah makhluq otonom dan unik; kedua, manusia adalah persona
yang korelatif. Otonomi dan kebebasan adalah dimensi transedental manusia
sebagai persona. Manusia juga memiliki kodrat rasional, sehingga manusia adalah
makhluq yang “sadar diri” atau memiliki kemampuan untuk berbuat secara
manusiawi. Sedangkan dalam kodrat substansial, manusia mampu untuk menghadirkan
diri dan berkembang sebagai subjek yang otonom.
§ Kodrat rasional yang substansial inilah
yang membentuk pola etis kehidupan manusia. Karena dalam diri manusia terdapat
kecenderungan pada kebaikan sesuai dengan kodrat yang juga berlaku untuk semua
substansi, sedemikian rupa sehingga setiap substansi mengusahakan pelestarian
keberadaannya sesuai dengan hekakat kodratnya. Dalam kaitan inilah, Aquinas
menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui hekaket tujuan akhir, memiliki
hakekat baik. Pernyataan ini menjadi akar penjabaran Aquinas tentang teori
moralnya. Karena makhluq rasional yang berakal budi, maka manusia haruslah
“sadar diri” dalam posisinya sebagai makhluq. Dengan “adar diri” ini, manusia
akan menjadi tuan atas perbuatannya. Tuan bagi perbuatan inilah yang
mengantarkan manusia kepada hakekat kemanusiaanya, dan disitulah manusia dengan
akal budinya berjalan dalam nilai etis moralnya dalam menjalankan kehidupan.
§ Akal budi manusia akan menuntun manusia
untuk menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi
asas pertama perbuatan manusia, dan hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang
sudah seharusnya hukum memang bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun
supaya dapat mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing
manusia menuju tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka
keharusan ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata social
yang harmonis dan seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai
moralitas dalam penegakan hukum.
§ Moralitas penegak hukum bisa ditegakkan
dengan selalu mencerahkan akal budianya untuk terus “sadar diri” atas
keberadaannya sebagai “tuan” atas perbuatan yang dijalankan. “Sadar diri”
inilah yang menjadi pangkal tolak yang diajukan Aquinas dalam membingkai
hubungan etika dalam penegakan hukum. Kesadaran diri manusia harus selalu diolah,
karena bagi Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus ditafsirkan
secara kritis, sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan.
Makhluq yang “sadar diri” pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang
mencerahkan dan membahagiakan.
§ Dalam konteks ini, fakta rusaknya
penegakan hukum di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar
diri”, sehingga jatuhlah nilai dan hekakat hukum. Penegak hukum bukan lagi
“tuan” atas perbutannya, tetapi “tuan” bagi kekuasaan, uang, dan jabatan.[5]
SEJARAH TASAWUF
DAN ALIRANNYA
Sebagai
sejarahwan mengaitkan sejarah tashawuf dengan Imam Ja’far Al-Shadiq ibn
Muhammad Bagir ibn Ali’ Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib. Imam
Ja’far, meski amat dihormati dan dianggap sebagai guru keempat-empat para imam
kaum Ahlusunnah-yakni Imam Abu Hanifah, Maliki; Syafi’i dan ibn Hanbal-adalah
imam kelima dari mazhab syi’ah Itsna Asyariah. Kenyataannya, meski tak banyak
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i kemungkinan akibat kritik-kritik
keras yang ditujukan kepadanya oleh kecenderungan untuk membela ahlul bait
(keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi, seperti
Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri, Jabir bin Hayyan, dan Al-Hajj.
Dalam
sejarah pemikiran dan praktik Islam, tasawuf mengalami pasang surut. Lahir dan
berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad ke-2 H. lewat pribadi-pribadi
seperti Hasan Al-Bashri, Sufyan al-Tsauri al-Harits ibn Asad Al Muhasibi, B
Yazid Al Bustami dan sebagainya. Tasawuf tak pernah bebas dari kritikan.
Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa tahap[6];.
1. Tahap Zuhud
(Asketisme)
- Tahap awal perkembangan tasawuf ini menentang mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Bashrah, kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir.
- Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut tempat-tempat perkembangannya:
- Para Zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari (w.22 H) Salmah Al-Farisi (w.32 H). Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H). Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (tabi’in) termasuk diantaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim Ibn Abdullah (w.106 H).
2. Tahap Tasawuf
(Abad III dan IV H)
- Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada aspek praktis (amali) berupa penanaman akhlak belaka. Para sufi dalam tahap ini mulai masuk ke aspek teoretis (nazhari) dengan jalan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal ha; maqam, hal ma’rifah, tauhid (dalam maknanya yang khas tasawuf), fana, hulul, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid Al-Baghdadi.
3. Tahap Tasawuf
Falsafi (Abad VI H)
- Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi adalah tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagai ahli memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfan (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
4. Tahap Tarekat
(Abad VII H dan seterusnya)
- Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya seperti Tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 298 H), baru pada masa-masa inilah tarekat berkembang dengan pesat. Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang). Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan Tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari semua tarekat yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang memiliki pengikut paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang sekarang telah memiliki banyak variasi ini pada mulanya didirkan di Bukhara, Asia Tengah oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.
PEMBAGIAN TASAWUF
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA
A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf
akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau
budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan
mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’
lama sufi.[7]
Dalam
pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang
tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena
itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan
melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah
mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila
mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi
mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di
lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku
dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak
menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada
urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela.
Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun
internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang
bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam
adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
Untuk
pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka
rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli
bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan
organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan
sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka,
maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan
dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya
akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[8]
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf
Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan
filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari
tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf
seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya,
karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak
dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena
teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf
jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya.
Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh
karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran
berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas
tentang ide-ide ketuhanan.[9]
C. Tasawuf Syi’i
Kalau
berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana
dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini
memiliki perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat
meninggal dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada
kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh
Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i
memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua
kelompok itu mempunyai dua kesamaan.[10]
D. Perkembangan
Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syi’i
Pada
mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna-makna
intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang
terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah muncul. Ajaran Islam
dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek
batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan aspek
dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa
mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk membersihkan jiwa.
Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara
hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.
Perkembangan
tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase: pertama, yaitu fase
asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriah. Sikap
asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf.
Pada fase ini, terdapat individu-individu dari kalangan-kalangan muslim yang
lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam
hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan
akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan
atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka
adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185
H). kedua tokoh ini sebagai zahid.
Pada
abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang
berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan
tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya
dekadensi moral yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun
berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan
mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal
yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian
yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan
yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya
dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada
alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf.
Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek
yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji.
Kaum
salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilakan akhlak
atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam
yang mereka nilai benyak mengandung muatan anjuran untuk untuk berakhlak
terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat
formal namun tidak diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi
pengamalan ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika mereka
menyaksiakn ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya. Mereka menanamkan
kembali akhlak mulia. Pada masa itu tasawuf identik dengan akhlak.
Kondisi
tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad, kemudian pada abad ketiga
hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjol pemikiran ekslusif.
Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena
manyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi,
Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu karena paham hululnya
ketika itu sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat yang tengah
mengarungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap
membahayan pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini
terpengaruh unsur-unsur di luar Islam.
Pada
abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima
taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf
berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia
melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah.
Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang
seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan
tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter
manusia.
Sejak
abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang
begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok
dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang
mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti
Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir
Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
Sejak
abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf
mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah.
Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat
disebut murni filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat
pada tahun 549 H) penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar
Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun 638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh
wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-Mursi(meninggal pada tahun 669
H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang sealiran. Mereka banyak menimba
berbagai sumber dan pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan khususnya
Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai jiwa,
moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf
maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir.
Dengan
munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf
yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf akhlaqi
ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan
penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh
sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan
demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada
pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan
pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat)
dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu
bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya
penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf
akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya,
diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam
Al-Ghazali, dan para pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan
filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para sufi yang juga seorang filosof ini
banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat pernyataan-pernyataan
mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya
terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah (wafat pada
tahun 728 H).
Selama
abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang.
Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali
dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam
hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan
imbas kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal jama’ah di atas
aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu sunnah wal
jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami,
Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk
kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai
timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh
kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran
Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh
karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan, yakni
dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan
Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang
member bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan
dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu
sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini
membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga
doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat
dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan.
Al-Qusyairi secara implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang
mengucapkan ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara
sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnay sifat baru-Nya.
MAQAMAT dan AHWAL
A.
Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon
untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama
berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan
tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan
pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat
dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang
lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara
terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat
bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang
harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung
perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi.
Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari
pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain
secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut
al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang
hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan
dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam
dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang
hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah.
B.
Maqamat
Sebagaimana
telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh
seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan.
Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu
maqam ke maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati
dari segala ikatan dunia.
Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut[11]:
1. Taubat
Dalam
ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam
pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf ,
taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk
tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa
merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu
yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika
seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri
dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang
sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi
memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah
2. Wara’
Dalam
perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram
dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits
nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا
أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي
سلمة عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه
ما لا يعنيه
“Diantara
(tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak
penting baginya”.
Adapun
makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat
berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain
yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara
sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan
memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
3. Zuhud
Kata
zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena
zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk
mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada
dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang
mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan
tidak menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang
diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik
yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir
konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain
yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata
zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti
zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan
d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud
diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat
kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan
ridha Allah SWT.
4. Faqr
Faqr
bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat
hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki
apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata,
orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr
berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk
memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub,
mengutip seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya
rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”.
Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya
terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta
tetap melaksanakan kewajiban agama.”
5. Sabr
Sabar
secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan
bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi
dan jenis bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala
apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan
ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada
musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan
menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar
merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman
terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur
baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli
sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
6. Tawakkal
Tawakkal
bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk
memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan
memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau
konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal
menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir
dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa
semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak
seorang salik jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
7. Ridha
Pada
dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti
halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia
termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi
dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan
kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat
ulama mengenai makna ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa:
الرضا: أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu
Bakar Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى لا يكون فيه إلا
فرح وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam
perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan
senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal
tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan
seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
C. Ahwal
Ahwal
adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental
(mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang
salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan
fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala
kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat
dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit
dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana
halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep
pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi.
Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah,
tuma’ninah, musyahadah, yaqin.[12]
1. Muraqabah
Secara
etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara
terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian
adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri
diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan
al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas
diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat
dirinya.
2. Khauf
Menurut
al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak
senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam
setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati
inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
3. Raja’
Raja’
bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu
sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah
keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang.
Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan
dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan
binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.
4. Syauq
Syauq
bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa
syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam
tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa
rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki
pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah.
5. Mahabbah
Cinta
(mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya
taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah
sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah
dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.
6. Tuma’ninah
Secara
bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj
tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan
bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
7. Musyahadah
Dalam
perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata
hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini
berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat
melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan
akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba
dengan Allah.
8. Yaqin
Al-yaqin
berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta
serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan
secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah
tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak
berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari
seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal
.
AJARAN TASAWUF
PADA MASA AWAL, TOKOH, DAN FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA[13]
Menurut
al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya
tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini
kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu
Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di
dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi,
seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta
(mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar,
melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya.
Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini
kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf
di dunia Islam (Al Taftazani, 1979:
72). Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti
(w.253 H), al- Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Tasawuf
kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad
ke-4 H dengan sistem ajaran yang
semakin mapan. Belakangan, al- Ghazali menegaskan
tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki
kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4
dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan
para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin
spiritual yang dikembangkan-nya dipandang
oleh para fuqaha’
sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi
aturan aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya,
terlebih lagi ketika corak falsafi masuk
dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan
tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .
Realitas
inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf,
yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf
praktis atau yang disebut juga tasawuf
sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang
memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada
aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.
Sedangkan
tasawuf teoritis atau juga
disebut tasawuf falsafi13
cenderung menekankan pada aspek pemikiran
metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan
ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai
pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid
(w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu
al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112).
Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut
tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami
(261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131),
al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14.
Secara
mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah
sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian
nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi secara umum
tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1)
gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan
urban dan kemewahan; (2) masuknya
gnostisisme Helenisme yang mendukung corak
kehidupan pertapaan daripada aktif di
masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga
memberi penghormatan pada sikap anti- dunia dan sarat dengan kehidupan
asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral;
(2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan tentang
sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara
Tuhan dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti:
merasakan kehadiran-Nya
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).
Dari
segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca
dalam 2 tingkat: (1) sufisme sebagai
semangat atau jiwa yang hidup dalam
dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme yang
tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-
bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam
tidak semata-mata berimplikasi pada
persebaran syiar Islam melainkan juga
berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang
dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan
fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat
seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar
sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa
kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi
sosial yang parah mempengaruhi umat mencari
pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus
memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara
mereka (Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat
dibaca melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah,
yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan
yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan
yang bercorak aristokratis ini berkembang
sekitar abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni
perkembangan lebih lanjut di abad
berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan
metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan; (3) taifa,
yakni masa persebaran ajaran dan pengikut
dari suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh
tertentu (Effendi, 1993: 67).
Tarekat
adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang
yang melalui ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid,
menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu untuk
menemukan kejernihan jiwa dan
hati. Varian tarekat dapat
disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang
tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi
dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.
Mengenai
kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok
spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua
kelompok lainnya yang disebut kelompok formal
dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri
dari ulama-ulama mutakallim (ahli
teologi), sedangkan kelompok grave terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan
fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu
kecenderungan spiritual yang membentuk etika
moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita
katakan seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama
sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran
Tasawuf pada dasarnya merupakan
bagian dari prinsip-prinsip Islam sejak
awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik
diri dan keluarga untuk hidup bersih dan sederhana,
serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam
kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun
mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah
kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju
Allah (untuk mendapatkan ridla-Nya), dan upaya
membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan
duniawi, sehingga tidak diperbudak harta
atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya.
Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan
kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan berikutnya
(abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai
sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih
berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola
hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan
tersebut berkelanjutan hingga mencapai
puncak perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga
abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga di
kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat
simak dalam karya sastra “cerita seribu satu malam” di
masa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf
juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktek
hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga
dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang
disebut ilmu Tasawuf.
Pada
tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak
lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keIslaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits
dan fuqaha dalam menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam
mengenai penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang sudah
berkembang selama tiga abad—dengan munculnya disiplin
ilmu Tasawuf—terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk
penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari’ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya
para fuqaha joke disebut ahli syari’ah dan para ulama tasawuf disebut ahli
haqiqah.
Di
Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga
keagamaan non-formal yang namanya “tarekat” asal kata
thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat
Qadiriyah yang cukup
dikenal, disamping Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah,
Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir
ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam
perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan
adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat
ikatan yang dikenal dengan nama Jam’iyah Ahl al-Thariqah
al-Mu’tabarah. Pada tahun lima
puluhan, pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan
koordinasi tarekat-terekat tersebut di bawah
Departemen Bimbingan Nasional (Wizarah al-Irsyad
al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan
penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari
potensi bangsa/umat, yang berhak mendapatkan
perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.
Untuk
lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita
mempertanyakan kapankah munculnya
tarekat (al-thuruq al-shufiyah) itu dalam sejarah
perkembangan gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa al-Syibi
dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi’ah mengungkapkan, tokoh
pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat)
itu Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M) di
Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru
dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di
Aljazair, Ghinia dan Jawa. Sedangkan di Mesir,
tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun Sayid Ahmad
al-Rifa’i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair
kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat
tradisi baru dengan menggunakan alat-alat musik
sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam
periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di
Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Yang
juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat
Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip
disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang
terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi berhasil
menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat
yang mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris
secara berturut-turut, dan akhirnya membebaskan
wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang
dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai
Mu’ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan
berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar